Majalah Foreign Policy dalam laporannya (26/1) membahas kondisi lima negara Arab yang diperkirakan akan menghadapi gelombang protes massif pasca tumbangnya rezim diktator Tunisia pimpinan Zine Al-Abidine Ben Ali. Mesir, Aljazair, Libya, dan Jordania merupakan lima negara yang dinilai sangat rentan terhadap protes rakyatnya dan terancam runtuh.
AKSI PROTES di ALJAZAIR.
Menurut Foreign Policy, Abdul Aziz Bouteflika, telah menjabat sebagai Presiden Aljazair sejak tahun 1999 dan pada tahun 2009, ia mengubah konstitusi sehingga ia dapat mempertahankan jabatannya untuk periode ketiga. Partai-partai oposisi Aljazair memboikot pemilu tersebut.
Saat ini Abdul Aziz Bouteflika yang telah menginjak usia 73 tahun dikabarkan sudah sakit-sakitan dan saudaranya menyatakan siap untuk menggantikan posisinya.
Bouteflika mampu mengakhiri perang saudara di Aljazair yang berlangsung selama 10 tahun dan mampu meningkatkan hubungan negaranya dengan kekuatan di Afrika dan Eropa. Namun ia gagal dalam memberantas kelompok separatis yang berafiliasi dengan AlQaeda. Ia juga tidak berhasil mencegah pengeroposan lembaga-lembaga demokratis di negaranya.
Pada bulan Januari, Aljazair menyaksikan aksi demonstrasi luas sama dengan yang terjadi di Tunisia. Warga memprotes meningkatnya harga komoditi dan juga krisis pengangguran. Demo warga makin meningkat setelah pemerintah menetapkan kenaikan harga susu, gula, dan tepung. Selain itu, sudah lama rakyat Aljazair mengeluhkan ketidakadilan distribusi kekayaan negara.
Tak ayal ribuan pemuda Aljazair turun ke jalan-jalan dan bentrok dengan aparat polisi. Bahkan sebuah pos polisi dibakar massa.
Menurut Foreign Policy, meski rezim Bouteflika tidak demokratis, namun kondisinya tidak separah rezim Ben Ali di Tunisia. Oleh karena itu, kondisi saat ini masih sulit bagi kelompok oposisi untuk menggulingkan rezim berkuasa. Selain itu, serikat-serikat buruh dan kelompok-kelompok oposisi Aljazair tampak sungkan mendukung demonstrasi warga.
AKSI PROTES di MESIR.
Rezim Mubarak, Mesir
Foreign Policy menganalisa kondisi saat ini akan menggiring Mesir menuju jurang sama yang dihadapi rezim Ben Ali di Tunisia. Sudah selama tiga dekade rezim Hosni Mubarak, berkuasa di Mesir. Karena seluruh undang-undang terkait kondisi darurat negara ini memberikan keleluasaan kepada Mubarak untuk mengotak-atik pelaksanaan pemilu secara arbitrer.
Namun saat ini, rezim Mubarak tengah tergelincir. Firaun berusia 82 tahun itu menghadapi berbagai masalah kesehatan. Di sisi lain, persaingan antara Gamal Mubarak, putra Presiden Mesir, dan Omar Sulaiman, Ketua Dinas Rahasia Mesir, juga semakin menguat.
Akan tetapi kondisi saat ini sangat tidak menguntungkan bagi rezim berkuasa. Masalah keadilan sosial, pengangguran, dan kenaikan harga komoditi, lagi-lagi menjadi pemicu gelombang unjuk rasa di Mesir. Terinspirasi dari aksi bunuh diri yang di Tunisia yang memantik revolusi, hingga kini tiga warga Mesir tewas dengan cara membakar diri.
Protes yang digelar secara nasional di Mesir yang dijuluki “Hari Kemarahan” itu telah menjadi momok bagi rezim Mubarak. Betapa tidak, meski telah dilarang dan diaman hukuman, masyarakat enggan menghentikan aksi protes dan menuntut lengsernya rezim ala-Firaun Mubarak.
Rezim Renta Ghadafi, Libya
Setelah membahas Aljazair dan Mesir, Foreign Policy menyinggung kondisi di Libya. Era pemerintahan Moammar Ghadafi dinilai telah melebihi usia kekuasaan seluruh pemerintahan di dunia saat ini. Ia berkuasa di Libya pada tahun 1969, melalui sebuah kudeta militer.
Di bawah kekuasaannya, Libya menjadi salah satu negara terbesar pelanggar hak asasi manusia dan negara paling tidak demokratis. Di negara ini tidak ada kebebasan media dan dari kelompok oposisi, yang tertinggal hanyalah nama dan kenangan belaka.
Lebih lanjut Foreign Policy menambahkan, meski untuk mendapatkan informasi detail tentang kondisi di Libya sangat sulit, namun sejumlah laporan dan rekaman video menunjukkan bahwa demonstrasi warga di ibukota cukup menjadi bukti tingginya tingkat ketidakpuasan rakyat Libya atas rezim berkuasa. Padahal sebelumnya, protes merupakan kata yang hampir tidak pernah didengar dari Libya.
Untuk mengantisipasi seperti apa yang terjadi di Tunisia, Mesir, dan Aljazair, pemerintah Libya langsung melakukan impor komoditi secara massif dan bahkan mencabut sejumlah batasan. 15 Januari lalu, Ghadafi dalam pidatonya mengecam revolusi di Tunisia. Dalam beberapa pidato, Ghadafi menyebut mantan diktator Tunisia, Zine Al Abidine Ben Ali sebagai saudara dekat.
Kemungkinan Revolusi Sudan
Sudan menjadi negara keempat yang dinilai Foreign Policy berpotensi menghadapi kebangkitan masyarakat. Presiden Sudan, Omar al-Bashir dalam dua dekade pemerintahannya, menjadi “guru besar dalam menebar perpecahan dan berkuasa”. Dengan lihai al-Bashir mengadu kelompok-kelompok yang menentangnya dan dalam membasmi segala bentuk ancaman.
15 tahun pertama pemerintahan al Bashir, berlalu dengan perang saudara antara kawasan utara dan selatan negara ini. Memasuki milenium, muncul pemberontakan dari Darfur, dan al-Bashir mempersenjatai sebuah kelompok milisi untuk memerangi para separatisan Darfur.
Wilayah Sudan Selatan saat ini tengah menanti hasil referendum soal pemisahan kawasan itu dari Sudan Utara. Al-Bashir berjanji akan menerima hasi referendum.
Al-Bashir yang mampu mengendalikan kondisi di wilayah selatan, tampaknya kini menghadapi kendala baru yaitu kehilangan pendukung secara bertahap. Hasan al-Turabi, ketua partai oposisi pada pidatonya dalam aksi unjuk rasa tanggal 17 Januari lalu menyampaikan pesan kepada al-Bashir dan mengatakan, “Apa yang yang terjadi di Tunisia adalah peringatan. Ini dapat terjadi di Sudan. Jika tidak, maka akan terjadi pertumpahan darah besar-besaran di Sudan.”
Al-Bashir dihimpit dua krisis besar saat ini. Pertama jika Sudan Selatan memisahkan diri, maka kondisi negaranya akan semakin sulit mengingat sebagian besar sumber minyak terletak di wilayah selatan. Kedua, di wilayah selatan pun, al-Bashir mulai kehilangan pendukung. Upayanya untuk mengurangi defisit bujet negara dilaukan dengan memotong subsidi bahan bakar dan komoditi utama. Kenaikan harga tersebut yang akhirnya menyeret para mahasiswa berdemonstrasi.
Ratu Jordania Siap-Siap Mengungsi ke Jeddah
Negara kelima yang menurut Foreign Policy diperkirakan akan menghadapi gelombang protes hingga runtuhnya pemerintahan adalah Jordania. Raja Jordania, Abdullah II, merupakan salah satu sekutu utama Amerika Serikat di kawasan dan menjadi “makelar perdamaian” antara Otorita Ramallah di Palestina dan rezim Zionis Israel. Abdullah yang merupakan jebolan Amerika Serikat itu berkuasa di Jordania pasca Perang Dunia II.
Kondisi saat ini di Jordania hampir sama dengan yang dialami di Tunisia dan Mesir. Parlemen baru Jordania hingga kini masih menghadapi krisis pengangguran yang persentasenya mencapai angka dua digit. Selain itu banyak pengamat yang meragukan kelanggengan kekuasaan Abdullah II.
Pada tanggal 16 Januari lalu, sekitar 3.000 warga berdemonstrasi di depan gedung parlemen negara ini dalam rangka memprotes kebijakan ekonomi. Mereka meneriakkan slogan “Jordania bukan hanya untuk orang-orang kaya saja”, “Roti adalah garis merah kami, kalian harus memperhatikan kemarahan dan kelaparan kami.”
Ratu Jordania menyampaikan pesan melalui internet yang mengimbau warga untuk menjaga ketenangan. Sikap itu direaksi keras oleh warga Jordania, bahkan di antaranya mengimbau keluarga kerajaan untuk menyiapkan rumah di Jeddah, Arab Saudi. Jeddah, adalah kota tujuan mantan diktator Tunisia, Zine al Abidine Ben Ali, setelah tersungkur dari jabatannya.
AKSI PROTES di MESIR
Analis: Rezim di Dunia Arab Akan Segera Runtuh
Rezim diktator di seluruh dunia Arab semakin dekat dengan keruntuhannya, pada saat revolusi Tunisia telah membuktikan bahwa aparat keamanan di negara itu tiba-tiba bisa gagal, analis mengatakan.
Di “Tunisia, penyiksaan, penindasan, penganiayaan di luar imajinasi dan semuanya runtuh dengan tiba-tiba,” penulis dan analis politik Azzam Tamimi mengatakan dalam sebuah wawancara dengan Press TV.
“Para rezim di Mesir, di Yordania, Yaman, Aljazair di Libya, di Arab Saudi juga bisa runtuh,” Tamimi menjelaskan lebih lanjut. “Selama dua atau tiga minggu terakhir, khususnya selama seminggu terakhir, Tunisia telah menjadi pembicaraan di jalan-jalan di seluruh dunia Arab dan mungkin juga negara-negara Afrika di mana model yang sama despotisme berlanjut,” ia menambahkan.
Analis secara khusus menunjukkan pada pemberontakan terbaru yang mungkin terjadi di di Arab Saudi. “Ada banyak hal yang terjadi di Arab Saudi di mana masyarakat sekarang menyerukan demonstrasi untuk memicu semacam gerakan rakyat,” lanjut Tamimi mengatakan.
AKSI PROTES di MESIR.
Mantan Presiden Tunisia Zein El Abidine Ben Ali 23 tahun kediktatorannya, pemerintahannya dirusak oleh pelanggaran hak asasi manusia dan penyiksaan, harus berakhir pada awal bulan ini setelah berminggu-minggu aksi protes jalanan.
Sementara Tunisia telah menjadi model untuk mengejar demokrasi, analis politik telah memperingatkan bahwa faksi-faksi politik Tunisia harus mengamati aturan sistem demokratis untuk menghindari adanya kediktatoran kembali pasca-revolusi.
“Hal terakhir bahwa yang rakyat Tunisia perlu lakukan adalah mereka harus menciptakan raja baru,” kata analis politik Mohammad Oweis dalam sebuah wawancara dengan Press TV. Oweis memperingatkan kelompok oposisi Tunisia terhadap penerapan pendekatan otokratis dalam kekuasaan yang ada di negara Afrika Utara.